Saat ribut-ribut film “Innocence of Muslims” yang
dikabarkan menghina Nabi Muhammad, saya kebetulan sedang berada di
Beijing, Cina. Sebagaimana kalau berkunjung ke kota-kota di luar negeri,
sedapat mungkin saya mencoba mampir ke masjid lokal untuk melakukan
sholat di sana.
Di Beijing, saya berkunjung ke Masjid Niujie yang
terletak di Distrik Xuanwu. Masjid ini adalah masjid tertua di Beijing
yang dibangun pada tahun 996 M, pada zaman Dinasti Liao. Masjid Niujie
ini menarik karena menunjukkan perpaduan khas antara arsitektur Cina dan
kaligrafi Arab. Bentuk menara dan ruang dalamnya mirip dengan bangunan
kuil atau istana Cina, tapi menyatu dengan itu, saya melihat aneka
kaligrafi Arab yang biasa tertulis di masjid.
Saya beruntung bisa bertemu dengan Haji Nurul
Muhamdan, imam masjid Niujie. Ia orang Cina asli dan usianya baru 41
tahun. Meski masih muda, ia berkali-kali sudah naik Haji dan penguasaan
bahasa Arabnya lumayan fasih. Berulangkali ia menyebut doa dan istilah
Arab dengan baik.
Imam Nur mengatakan bahwa di Cina, umat Islam bisa
beribadah dengan tenang meski jumlahnya minoritas. Di Beijing, ada
sekitar 12 ribu orang pemeluk Islam dan jumlah masjid mencapai lebih
dari 70 buah. Ibadah sholat Jum’at, Idul Fitri, Idul Adha, bahkan
pengajian rutin, dilakukan di masjid-masjid tersebut tanpa perlu
ketakutan.
Masjid Niujie sendiri, yang luasnya sekitar 6000
meter persegi, juga memiliki madrasah tempat belajar Islam. Selain itu
terdapat pula museum yang menyimpan cerita tentang sejarah Islam di
Cina.
Menariknya lagi, masyarakat Cina Islam juga
memiliki tradisi memeringati Maulud Nabi Muhammad. Imam Nur mengatakan
bahwa kecintaan masyarakat Cina pada Nabi ditunjukkan dengan melakukan
doa dan aneka kegiatan untuk memeringati hari lahir Nabi Muhammad. Hal
itu sudah dilakukan sejak beratus tahun lampau.
Saya diajak Imam Nur untuk melihat satu peninggalan
bersejarah berupa kuali besar tempat membuat bubur. Dulu, setiap
peringatan Maulud Nabi, di kuali itu dibuat bubur yang akan
dibagi-bagikan pada jamaah. Sampai dengan sekarang, budaya
membagi-bagikan makanan dan memanjatkan doa bagi Nabi Muhammad tetap
dilakukan oleh orang-orang Cina Islam setiap Mauludan.
Melihat masjid Niujue saya sungguh terpana. Betapa
kebesaran Islam datang bukan dalam bentuk kekerasan dan agresi,
melainkan dalam bentuk kelenturan untuk menyatu dengan adat dan budaya
setempat.
Selain melihat arsitektur bangunan yang menyatu dan
mirip dengan kuil Cina, agama Islam memang masuk ke Cina persis seperti
yang dilakukan para Wali di Jawa dulu. Mereka tetap menjaga kelestarian
budaya masyarakat lokal, namun dengan memberi nafas Islam.
Sejak masuk ke Cina sekitar 1400 tahun lalu, Islam
berinteraksi damai dengan berbagai kepercayaan dan keimanan yang ada.
Mereka menghargai filosofi Confusius dengan baik, bahkan menyelaraskan
berbagai persamaan antara keduanya dalam harmoni. Jendral Ma Bufang,
yang menguasai wilayah Qinghai pada masa Republik Cina di tahun 1940-an,
memberi kesempatan sama pada umat Kristen, Yahudi, dan politeisme,
untuk tinggal dan beribadah di tempatnya berkuasa.
Kelembutan dan kemampuan Islam menyatu dengan
budaya lokal menjadikan Islam lebih mudah diterima di Cina. Imam Nur
kemudian menunjukkan saya satu plakat yang dibuat oleh Kaisar Ming yang
menyebutkan bahwa Kaisar Ming menjamin kebebasan masyarakat Islam di
Cina. Plakat itu secara tegas menyebutkan umat Islam bebas beribadah dan
tidak boleh diganggu.
Di masa pergolakan, terutama saat terjadi revolusi
budaya, Islam sempat mengalami kekerasan dan pengucilan. Banyak masjid
yang dirusak dan kitab yang dibakar. Tapi setelah tahun 1978, Islam
kembali diberi kebebasan ekspresi. Pemerintah komunis saat ini bahkan
memberi aneka fasilitas bagi Cina muslim untuk menjalankan ibadahnya,
termasuk menyelenggarakan kegiatan seperti Maulud Nabi Muhammad.
Di Partai Komunis Cina, atau pemerintahan, juga
terdapat pejabat yang beragama Islam. Hui Liangyu, yang menjadi wakil
menteri pertanian dan pejabat Partai Komunis China, adalah salah satu
pejabat di pemerintahan Cina yang beragama Islam.
Dalam diskusi dengan Imam Nur, kita melihat bahwa
Islam saat ini perlu menampilkan wajah damai dan bersahabat. Bukan
justru kekerasan dan agresi. Aneka hinaan, cercaan, dan provokasi
terhadap Islam atau Nabi Muhammad, tidak sedikitpun mengurangi kebesaran
dan kemuliaannya. Justru kalau kita agresif atau merusak, malah akan
mengurangi kemuliaan Islam.
Saya merenungkan kata-kata dari Imam Nur. Islam
memang bisa diterima dan tidak menjadi ancaman karena ia membawa wajah
damai, bersahabat, dan harmonis.
Selain itu, saya juga mencatat satu hal lain yang
menarik. Kalau di negara komunis saja, kebebasan melakukan ibadah bagi
kaum minoritas dilindungi oleh negara, di negeri Pancasila seharusnya
kita dapat lebih baik lagi dalam menjamin kebebasan beribadah
masyarakatnya. Hal itu karena dulu kita pernah menolak komunis dan
menggantikannya dengan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih baik.
Itikad itu kiranya perlu direalisasikan oleh kita semua.
Salam dari Beijing.
No comments:
Post a Comment