Follow Us @silviawt

Wednesday, September 19, 2012

Orang Cina Cinta Nabi Muhammad


13480094301392190258
Bersama Hajj Nurul Muhamdan, Imam Masjid Niujie Beijing
Saat ribut-ribut film “Innocence of Muslims” yang dikabarkan menghina Nabi Muhammad, saya kebetulan sedang berada di Beijing, Cina. Sebagaimana kalau berkunjung ke kota-kota di luar negeri, sedapat mungkin saya mencoba mampir ke masjid lokal untuk melakukan sholat di sana.
Di Beijing, saya berkunjung ke Masjid Niujie yang terletak di Distrik Xuanwu. Masjid ini adalah masjid tertua di Beijing yang dibangun pada tahun 996 M, pada zaman Dinasti Liao. Masjid Niujie ini menarik karena menunjukkan perpaduan khas antara arsitektur Cina dan kaligrafi Arab. Bentuk menara dan ruang dalamnya mirip dengan bangunan kuil atau istana Cina, tapi menyatu dengan itu, saya melihat aneka kaligrafi Arab yang biasa tertulis di masjid.
Saya beruntung bisa bertemu dengan Haji Nurul Muhamdan, imam masjid Niujie. Ia orang Cina asli dan usianya baru 41 tahun. Meski masih muda, ia berkali-kali sudah naik Haji dan penguasaan bahasa Arabnya lumayan fasih. Berulangkali ia menyebut doa dan istilah Arab dengan baik.
Imam Nur mengatakan bahwa di Cina, umat Islam bisa beribadah dengan tenang meski jumlahnya minoritas. Di Beijing, ada sekitar 12 ribu orang pemeluk Islam dan jumlah masjid mencapai lebih dari 70 buah. Ibadah sholat Jum’at, Idul Fitri, Idul Adha, bahkan pengajian rutin, dilakukan di masjid-masjid tersebut tanpa perlu ketakutan.
Masjid Niujie sendiri, yang luasnya sekitar 6000 meter persegi, juga memiliki madrasah tempat belajar Islam. Selain itu terdapat pula museum yang menyimpan cerita tentang sejarah Islam di Cina.
1348009675409170225
Suasana dalam Masjid Niujie / photo junanto
Menariknya lagi, masyarakat Cina Islam juga memiliki tradisi memeringati Maulud Nabi Muhammad. Imam Nur mengatakan bahwa kecintaan masyarakat Cina pada Nabi ditunjukkan dengan melakukan doa dan aneka kegiatan untuk memeringati hari lahir Nabi Muhammad. Hal itu sudah dilakukan sejak beratus tahun lampau.
Saya diajak Imam Nur untuk melihat satu peninggalan bersejarah berupa kuali besar tempat membuat bubur. Dulu, setiap peringatan Maulud Nabi, di kuali itu dibuat bubur yang akan dibagi-bagikan pada jamaah. Sampai dengan sekarang, budaya membagi-bagikan makanan dan memanjatkan doa bagi Nabi Muhammad tetap dilakukan oleh orang-orang Cina Islam setiap Mauludan.
13480097701422709941
Kuali Nikel untuk memasak bubur setiap peringatan Maulud / photo junanto
Melihat masjid Niujue saya sungguh terpana. Betapa kebesaran Islam datang bukan dalam bentuk kekerasan dan agresi, melainkan dalam bentuk kelenturan untuk menyatu dengan adat dan budaya setempat.
Selain melihat arsitektur bangunan yang menyatu dan mirip dengan kuil Cina, agama Islam memang masuk ke Cina persis seperti yang dilakukan para Wali di Jawa dulu. Mereka tetap menjaga kelestarian budaya masyarakat lokal, namun dengan memberi nafas Islam.
Sejak masuk ke Cina sekitar 1400 tahun lalu, Islam berinteraksi damai dengan berbagai kepercayaan dan keimanan yang ada. Mereka menghargai filosofi Confusius dengan baik, bahkan menyelaraskan berbagai persamaan antara keduanya dalam harmoni. Jendral Ma Bufang, yang menguasai wilayah Qinghai pada masa Republik Cina di tahun 1940-an, memberi kesempatan sama pada umat Kristen, Yahudi, dan politeisme, untuk tinggal dan beribadah di tempatnya berkuasa.
Kelembutan dan kemampuan Islam menyatu dengan budaya lokal menjadikan Islam lebih mudah diterima di Cina. Imam Nur kemudian menunjukkan saya satu plakat yang dibuat oleh Kaisar Ming yang menyebutkan bahwa Kaisar Ming menjamin kebebasan masyarakat Islam di Cina. Plakat itu secara tegas menyebutkan umat Islam bebas beribadah dan tidak boleh diganggu.
Di masa pergolakan, terutama saat terjadi revolusi budaya, Islam sempat mengalami kekerasan dan pengucilan. Banyak masjid yang dirusak dan kitab yang dibakar. Tapi setelah tahun 1978, Islam kembali diberi kebebasan ekspresi. Pemerintah komunis saat ini bahkan memberi aneka fasilitas bagi Cina muslim untuk menjalankan ibadahnya, termasuk menyelenggarakan kegiatan seperti Maulud Nabi Muhammad.
Di Partai Komunis Cina, atau pemerintahan, juga terdapat pejabat yang beragama Islam. Hui Liangyu, yang menjadi wakil menteri pertanian dan pejabat Partai Komunis China, adalah salah satu pejabat di pemerintahan Cina yang beragama Islam.
Dalam diskusi dengan Imam Nur, kita melihat bahwa Islam saat ini perlu menampilkan wajah damai dan bersahabat. Bukan justru kekerasan dan agresi. Aneka hinaan, cercaan, dan provokasi terhadap Islam atau Nabi Muhammad, tidak sedikitpun mengurangi kebesaran dan kemuliaannya. Justru kalau kita agresif atau merusak, malah akan mengurangi kemuliaan Islam.
Saya merenungkan kata-kata dari Imam Nur.  Islam memang bisa diterima dan tidak menjadi ancaman karena ia membawa wajah damai, bersahabat, dan harmonis.
Selain itu, saya juga mencatat satu hal lain yang menarik. Kalau di negara komunis saja, kebebasan melakukan ibadah bagi kaum minoritas dilindungi oleh negara, di negeri Pancasila seharusnya kita dapat lebih baik lagi dalam menjamin kebebasan beribadah masyarakatnya. Hal itu karena dulu kita pernah menolak komunis dan menggantikannya dengan Pancasila sebagai dasar negara yang lebih baik. Itikad itu kiranya perlu direalisasikan oleh kita semua.
Salam dari Beijing.
1348009875629449902
Plakat Kaisar Ming yang menjamin kebebasan ibadah umat Islam di China / photo Junanto
13480101301258679842
Suasana Madrasah di Masjid Niujie / photo junanto

No comments:

Post a Comment